Selasa, 05 Juli 2011

Lafal 'Am dan Lafal Khas (part 2)


4. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ‘Am
 Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ‘Am adalah sebagai berikut ;
1. ‘Am dan maksudnya
Makna ‘Am itu menurut maksud lafalnya, demikian yang pegang jumhur ulama. Kaidahnya:
“ Keumuman itu yang dimaksud dari sudut lafalnya.” (Muhsin Ibnu ‘Ali al-Masawi)
Sebagian pendapat menyatakan bahwa maksud dari lafal umum itu tidak hanya berlaku pada lafalnya tetapi juga pada maknanya.

2. ‘Am dan ketentuan hukum
Jumhur ulama menetapkan bahwa keumuman lafal itu belum menunjukkan pada suatu hukum, kjarena hukum mencakup perkataan, perbuatan maupan si pelakunya, sedang umum itu masih belum mencakup keseluruhan itu. Kaidahnya :
“ Keumuman itu tidak dapat menggambarkan suatu hukum.”
(Abdul Hamid Hakim, 1983 : 36)

3. ‘Am dan cakupannya
Lafal ‘Am keumumannya bersifat keseluruhan, sedang lafal umum yang mutlakitu bersifat sebagian. Kaidahnya :
“ ‘Am itu umumnya bersifat keseluruhan sedang umum yang mutlak itu hanya bersifat sebagian.” (Abdul Hamid Hakim, 1983 : 37)

4.  ‘Am dan bentuk-bentuk objeknya
Jumhur ulama menetapkan bahwa lafal umum itu sebenarnya mempunyai bentuk-bentuk objek tertentu walaupun tanpa penyertaan (qarinah). Kaidahnya :
“ Sesungguhnya umum itu mempunyai bentuk-bentuk yang sudah tertentu objeknya.” (Abdul Hamid Hakim, 1983 : 37)



5. “Am dan ketentuan bentuk-bentuknya
a. Setiap jama’ Qillah (jumlah yang menunjukkan 3 sampai 10 orang) tidak termasuk lafal ‘Am.
b. Setiap pekerjaan yang telah ditentukan bagian-bagiannya maka setiap bagian itu bukan merupakan bentuk ‘am.
c. Setiap kitab yang berawalan “ Ya ayyuhan Nas “ mencakup ketentuan orang merdeka dan hamba sahaya.
d. Setiap titah yang berawalan “ Ya ayyuhan Nas “ itu mencakup orang kafir.
e. Setiap titah yang dikhususkan untuk orang0orang muslim dan mukmin maka tidak mencakup orang kafir kecuali ada dalil lain.
f. Titah yang berlaku pada zaman nabi maka berlaku pula pada generasi sesudahnya.
g. Titah yang dikhususkan pada umat Muhammad berarti tidak berlaku untuk Rasul-nya.
h. Titah yang dikhususkan untuk Rasul maka tidak mencakup ummatnya kecuali ada dalil lain.
i. Titah yang ditujukan untuk seseorang dan telah ditentukan kekhususannya maka titah itu berlaku hanya pada seseorang itu.
j. Yang menitahkan itu termasuk dalam titahnya.
k. Lafal yang implisit itu tidak termasuk bentuk umum.
l. Lafal yang mafhum (makna tersirat) itu mempunyai bentuk umum.
m. Lafal yang telah dibuang hal yang mengikat maka lafal itu menunjukkan umum.
n. ungkapan ‘am yang berkaitan dengan pujian atau celaan masih tetap menunjukkan keumumannya.
o. ungkapan itu dijadikan hujah menurut keumuman lafalnya bukan karena sebab yang melatarbelakangi.
p. Lafal ‘am yang telah disebutkan Satuan-satuan melalui hukumnya maka ‘am tidak perlu dikhususkan lagi.
q. kedudukan ‘am setelah dikhususkan maka selibihnya merupakan hujah.
r. Mempergunakan lafal ‘am sebelum diteliti pengkhususannya maka tidak diperbolehkan.

5. Dilalah dan Pengamalan Lafal ’Am
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafal{dz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:
ÈÆ}إِلاَّ عَامٍ مِنْ مَا
“Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.

Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:

عَلَيْهِ اللَّهِ اسْمُ يُ ذْكَرِلَمْ مِمَّا تَأْكُلُوا وَلَا

“dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121)

Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:

(رواه أبو داود).يُسَمِّ لمَ أَوْ سَمَّى اللهِ اسْمِ عَلَى يَذْبَحُ مْسْلِمُلا

“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)

Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadits itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar